Senin, 14 Januari 2013

Men-generalisasi-kan Sesuatu



Tulisan saya kali ini terinspirasi (tsaaaahhh…bahasanya…terinspirasi) dari pendapat temen di salah satu social media yang menulis tentang citra polisi yang buruk (di mata dia) karena sering menilang para pengendara. Begini tulisannya :
“Slogan Polisi : JANGAN MERENDAHKAN MARTABAT KAMI
Apa bisa seperti itu!!!kayaknya engga deh,,malahan sangat RENDAH karena tugas tilang menilang udah jadi kebudayaan POLISI !!!
Bayangkan hari ini saja ada 4 kali operasi polisi,,katanya sih ada pemeriksaan tapi ujung2nya cari UANG HARAM !!! Begitu apa bisa di bilang melindungi masyarakat ,,, PERLU REVISI LAGI BUNG SLOGANNYA !!!!”

Terus di bawahnya saya langsung menuliskan pendapat saya, seperti ini :

Memangnya semua polisi kerjaanna nilang ya?NGGAK!!  
Dan memangnya kalo pengendara kendaraan ga salah,polisi nilang ya?NGGAK!!  
Perlu direvisi juga Bung,statusnya!! :)”

Kalo orang ga ngerti pasti keliatannya saya lagi cari ribut ya?hehe. Kalo saya mo cari ribut, tentulah saya balas lagi tulisan itu dengan segala macam opini yang saya punya. Tapi, nggak. Hal itu ga saya lakuin. Sebenarnya niatan saya ga begitu juga sih. Bukan pula membela atau menjelekkan salah satu pihak. Saya kurang suka aja dengan pernyataan yang “Men-generalisasi-kan Sesuatu”, ya seperti pendapat teman saya di atas tadi.

Sadar ga sih kita, mungkin kadang saya pernah juga melakukannya secara ga sengaja, kalo kita sering secara ga sadar men-generalisasi-kan sesuatu. Atau dengan kata lain, menganggap sama atau menyamaratakan sesuatu yang sebenarnya belom tentu semuanya sama. Misalnya kita nih, para cewek lagi patah hati habis diselingkuhin sama cowok kita, terus (saya yakin ga cuma 1-2 orang) ada yang pernah bilang gini, “Ah,semua laki2 tuh sama aja, brengsek semua!!” Nah lho…yang ngerasa cowok baek2, ga pernah selingkuh (atau malah belom pernah pacaran), pasti bakal ikut tersinggung ngedengernya. Jangan2 cewek yang bilang gitu juga lupa kalo bapaknya juga jenis kelaminnya laki2. Maklum guys, namanya juga lagi patah hati :)

Ada lagi contoh laen. Misalnya merendahkan atau menjelekkan etnis atau suku tertentu. Di Indonesia sendiri, ga kurang2 tuh yang namanya beragam macam etnis/suku. Sering kan secara ga sadar, mungkin kita pernah men-generalisasi-kan beberapa etnis/suku tertentu. Misalnya :
“Orang (….) kasar2 orangnya” atau “Kalo orang dari (….) sih alus2 ya?” atau “Orang (….) tuh banyak yang pelit”. Hayo….pasti pernah denger penggalan kalimat2 begitu? Padahal mungkin aja yang mereka kenal hanya beberapa orang yang kebetulan punya sifat kayak gitu. Tapi apa bener semua etnis/suku yang sama semuanya punya sifat kayak gitu? Jawabannya jelas : NGGAK SEMUANYA.

Contoh lagi, berita buruk tentang citra PNS di Indonesia. Ga nyalahin juga sih kalo emang citra yang ada di masyarakat itu kurang bagus. Tapi hal2 semacam itu kadang didukung oleh pemberitaan di media yang ga seimbang/netral. Misalnya berita tentang PNS yang kerjanya nyante, telat masuk kantor, atau berada di warung kopi saat upacara berlangsung. Ga memungkiri, memangada kejadian seperti itu. Dan saya merasa berita tersebut memang patut disiarkan untuk menimbulkan efek agar introspeksi tetep dilakukan. Sayangnya, berita di media bener2 ga netral. Apa kabar dengan PNS laen yang sudah melakukan pekerjaannya dengan baik/disiplin? Pernahkah diberitakan di media saat PNS bekerja lembur hingga tengah malam (ga sedikit lho temen2 PNS kita yang kerja lembur sampe tengah malem/pagi)? Pernahkah PNS yang rutin dan disiplin apel pagi/sore hari di-shoot televisi? Pernahkah PNS yang tepat waktu dan disiplin mengikuti upacara diliput? Padahal juga masih banyak yang seperti itu. Pernahkah yang seperti itu ikut diberitakan? Saya rasa jawabannya : NYARIS TIDAK PERNAH.

Pendapat yang menyamaratakan itu menurut saya kadang kejam, Sodara. Apalagi kalo generalisasi itu disampaikan lewat media. Televisi atau surat kabar, misalnya. Masih inget kasus “Bakso yang diduga pake daging tikus” Heboh banget waktu itu beritanya di media (kayaknya waktu itu saya masih SMP). Saya dulu malah sempet waswas buat makan bakso. Gimana ga, dulu beritanya pake gambar/video bukti daging2 tikus yang masih berdarah2 di belakang dapur buat diolah jadi daging bakso. Saya  yakin, ga cuma saya aja yang waswas, jutaan orang kayak saya di Indonesia pasti banyak yang juga waswas makan bakso. Sampe mungkin kita waktu itu lupa, kalo masih banyak pedagang bakso yang membuat bakso dari bahan2 berkualitas dan layak makan.

Salah satu contoh pemberitaan di media yang cukup adil dan netral menurut saya adalah “Reportase Investigasi” di TransTV. Disitu meliput beberapa berita tentang pemalsuan/penyalahgunaan produk2 tertentu. Misalnya penggunaan bahan pewarna tekstil atau boraks pada makanan maupun pembuatan barang2 aspal (asli tapi palsu). Beritanya disertai dengan keterangan dari produsen pemalsu (yang sudah disamarkan sedemikian rupa), berikut proses produksinya. Masyarakat khawatir? Tentu saja! Tapi berita tersebut tidak berhenti sampai disitu. Berita tersebut juga menyertakan bahwa masih banyak produsen2 barang yang sama yang masih memproduksi barang sejeni dengan kualitas yang bagus. Bahkan disitu dijelaskan bagaimana cara membedakan produk yang baik atau yang jelek (aspal). Jadi disini masyarakat hanya perlu lebih berhati2 memilah2 barang tanpa harus khawatir yang berlebihan atau berasumsi bahwa semua produk barang yang ada di pasaran tersebut jelek semua.

Terus ngapain juga saya repot2 nulis beginian ya? Disini saya sekedar pengen jadi reminder, buat saya juga sih (kali2 aja saya lupa sewaktu2), kalo menyamaratakan sesuatu itu bisa merugikan diri sendiri. Karena secara ga sadar, otak kita sudah mengkotak-kotakkan dan menyamaratakan hal2 tertentu yang sebenarnya tidak sama. Contoh2nya ya seperti yang saya jabarkan tadi di atas. Berpendapat memang boleh2 saja. Tetapi apabila hal tersebut terus menerus dilakukan, apalagi pemberitaan di media (yang cepet sih misalnya, media cetak dan elektronik), hal  itu bisa menimbulkan semacam sterotype yang belum tentu benar di masyarakat. Jadi, saya harap, saya, kamu, kita, dan kami masyarakat pada umumnya sebaiknya lebih berhati2 dalam ‘menempelkan cap/label’ pada hal2 tertentu. Boleh setuju atau nggak, boleh protes atau meng-amin-i, atau apa aja reaksi yang saya dapat karena tulisan saya ini, it’s okay. Just sharing :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar