Rabu, 31 Desember 2014

Discovered Lombok, Pulau Seribu Masjid (Part. 4)

Day 4. City Tour : Cakranegara dan Mutiara Pagutan, Desa Sade, Desa Sukarara, Keindahan Pantai Seger, Tanjung Aan, dan Kuta
Ayam Taliwang


Belom ke Lombok rasanya kalo belom makan Ayam Taliwang. Karena itu, kami pergi mencari kuliner tersebut di daerah Cakranegara. Setelah itu kami mampir ke toko mutiara di Pagutan untuk membeli oleh2 buat keluarga di rumah. Hari itu cuaca kurang bersahabat. Gerimis dan malah hujan lebat turun. Kami mampir ke pusat pembuatan kain tenun di Desa Sukarara. Saya mencoba untuk menenun. Sekilas memang terlihat mudah, hanya memang harus telaten dan kreatif untuk membuat pola. Dan itulah yang menjadikan pembuatan tenun ini menjadi sedikit rumit. Tapi untuk penduduk desa ini, terutama perempuan, menenun adalah kemampuan yang harus mereka miliki sebagai syarat agar mereka bisa menikah. Jika peraturan i ni dilanggar, maka akan terkena sanksi adat, yaitu membayar bahan2 pokok yang jumlahnya tergantung status sosial perempuan tersebut. Saat saya bertanya kepada salah satu penenun yang berusia 24 tahun, dia berkata bahwa dia sudah menikah sejak usia 18 tahun. Dan dia ingin bisa menenun agar bisa membantu suaminya bekerja. Mulia banget yak. Untung saya nggak dilahirkan di desa Sukarara, bisa repot nih orang yang ga becus ngerjain pekerjaan tangan kayak saya ini bisa2 lama kawinnya (lah, emang sekarang udah kawin, Mel? Anjriiiittt...)
Tenun Sukarara

Belajar menenun


Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Desa Sade. Disini kami melihat rumah2 adat Suku Sasak. Ada rumah yang masih lantainya berupa campuran tanah kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami. Rumah2 ini juga banyak yang berjualan tenun, gelang2 aksesoris, dsb. Kami tidak terlalu lama di tempat itu dan segera berlalu menuju deretan pantai-pantai.





Pantai Tanjung Aan, Pantai Seger, dan Pantai Kuta


Sesampainya di Pantai Tanjung Aan, cuaca masih mendung. Pantai ini memiliki pasir yang bulat2 seperti merica, jadi terkesan kasar. Ada bukit kecil di sebelahnya, cocok untuk menikmati pemandangan pantai dari atas.

Pasir di Pantai Tanjung Aan


Setelah itu ada Pantai Seger. Disinilah cerita rakyar Ratu Mandalika yang terkenal itu. Kalo saja kami datang di saat bulan Pebruari, mungkin kami akan bisa melihat perayaan berbulu Nyale. Sayang saat itu cuaca mulai buruk, gerimis mulai turun lagi. Kami pun segera berlalu menuju Pantai Kuta.
 
Jembatan di Pantai Seger
Jembetan di Pantai Seger
Patung Ratu Mandalika dan pangeran2 yang melamarnya mencegah Ratu menjatuhkan diri ke laut

 

Kalo boleh saya menilai, Pantai Kuta Lombok jauh lebih bagus daripada PantaiKuta bali. Lebih bersih dan terawat. Disini pun saya nggak bisa berlama2 karena hujan masih terus turun.


Pembangunan di Pantai Kuta terus ditingkatkan

Pantai Kuta Lombok...tampak langit gelap sekali di belakang saya


Nggak terasa, liburan kami sudah berlangsung 4 hari. Banyak pengalaman dan cerita yang saya dapat, juga teman2 baru tentunya. Sebenarnya masih banyak tempat di Lombok yang belum saya datangi. Sepertinya memang harus kembali lagi kesitu kapan2 :)

...see you on next trip...

Discovered Lombok, Pulau Seribu Masjid (Part. 3)

 Day 3. Romantisme di Pantai Pink dan Tanjung Ringgit


Hari ini kami menuju ke Lombok Utara, ke Kecamatan Jerowaru untuk menuju Pantai Pink. Pantai ini bisa ditempuh dengan menyewa boat dengan biaya sekitar Rp. 350.000,- atau lewat jalan darat. Kami jelas memilih jalan darat untuk meminimalisir biaya, hehe. Lewat jalan darat malah bisa menambah pengalaman berasa ngelewati jalur out of road. Jalannya rusak nggak karu2an. Memang sedang dalam perbaikan, tapi keadaan masih lumayan parah. Selama 2 jam mengalami goncangan ke kanan kiri depan belakang, akhirnya kami sampai juga di Pantai Pink. Sebanarnya warna pasir pantai ini putih kecoklatan seperti pantai2 pada umumnya, hanya saat tertimpa sinar matahari, lebih mirip warna merah muda. Cantik sekali.
Di tengah jalan menuju Pantai Pink bisa ketemu beginian
Pantai Pink
Goa Jepang di dekat Pantai Pink
Sempet masuk, ternyata nggak terlalu panjang, hanya ada 3 ruangan di dalamnya
Selepas dari Pantai Pink, kami mampir Tanjung Ringgit di dekat situ. Dari atas bukit ini bisa terlihat lautan luas di bawah, suatu keindahan yang saat itu nggak bisa saya jelaskan dengan kata2. Yang jelas satu kata : indah. Di atas bukit ini pula terdapat meriam peninggalan Jepang. Sudah karatan memang, tapi lumayan bagus sebagai spot untuk mengambil gambar.
Tanjung Ringgit

Tanjung Ringgit

Monumen Meriam Jepang
Monumen Meriam Jepang
Lepas maghrib, kami kembali ke Mataram. Malam itu, kami mampir Sasaku, tempat kaos khas Lombok dan juga menikmati salah satu kuliner khas lagi yaitu Bebalung. Bebalung adalah sup iga khas Lombok. Rasanya...yaaa seperti sop iga pada umumnya, jujur aja nih ya, hehe.

Setelah kami sampai di penginapan, saya kembali dijemput teman2 saya disini. Saya diajak untuk menikmati malam di tempat yang paling hits buat muda-mudi Lombok, Lesehan Udayana...yaaah lumayan juga menikmati roti bakar atau pisangbakar bersama plus secangkir cappucino hangat bersama teman2 kuliah dulu. Itulah gunanya punya teman dimana2 :)
Jackpot! Tenang tenang...semua masih bisa dibicarakan, Nu. Dibintangi : Nunu dan Ivan.

Romantisme kali ini dipersembahkan oleh : Lili dan Eng

...to be continued...
Day 4. City Tour : Cakranegara dan Mutiara Pagutan, Desa Sade, Desa Sukarara, Keindahan Pantai Seger, Tanjung Aan, dan Kuta

Discovered Lombok, Pulau Seribu Masjid (Part. 2)


Hutan Monyet Pusuk

Day 2. Bermain dengan Monyet di Hutan Pusuk, Menjelajah Air Terjun Sendang Gile, dan Tiu Kelep

Hari itu dimulai dengan sarapan salah satu kuliner khas Lombok, yaitu Nasi Puyung. Nasi ini terdiri dari ayam suwir pedas, belut goreng, kering kentang dan kedelai goreng. Untuk penyuka kuliner pedas, pasti suka banget sama kuliner Nasi  Puyung ini. Setelah sarapan, kami menuju ke daerah Senaru, di dekat pos pendakian Gunung Rinjani. Air terjun yang akan kami datangi memang terletak di kaki gunung tersebut. Saat menuju Senaru, kami melewati Hutan Pusuk, kawasan puncak yang banyak sekali didiami oleh monyet2 liar. Kami sempatkan berhenti sejenak untuk memberi makan sekedarnya. Jelas sekedarnya, karena saat itu kami nggak membawa makanan yang layak untuk monyet, jadi monyet2 itu kami beri makan biskuit dan juga pie susu dari Bali (malah lebih istimewa, haha).

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Air Terjun Sendang Gile. Medan untuk menuju air terjun ini nggak begitu susah, sudah dibentuk tangga2 menuju air terjun. Berjalan dari gerbang masuk hanya sekitar 20-30 menit saja. Air terjun Sendang Gile terdiri dari 2 tingkatan, disini letak uniknya. Kami nggak terlalu lama berada disini karena kami harus meneruskan perjalanan lagi menuju Air terjun Tiu Kelep. 

Gerbang Masuk Air Terjun Sendang Gile

Air Terjun Sendang Gile
Air terjun ini berada sedikit di atas Sendang Gile. Namun medan yang menuju ke Tiu Kelep tidak semudah Sendang Gile, harus menyeberang sungai2. Woaaahhh...saya nggak sabar untuk sampai kesana.
Menyeberang sungai

Air Terjun Tiu Kelep

Sayang, di tengah perjalanan ke Tiu Kelep, kami kehujanan. Mengingat hujan yang bertambah deras, kami sempat berhenti dan berteduh di pintu air. Saat hujan sudah mulai reda, kami melanjutkan perjalanan. Hanya 4 orang diantara kami yang melanjutkan perjalanan ke Tiu Kelep, termasuk saya. Alasannya karena debit sungai yang cukup deras sehingga mungkin agak ngeri untuk diseberangi. Perjalanan yang agak sulit dengan pakaian yang basah kuyup terbayar saat kami sampai di Tiu Kelep. Memang lebih bagus dibandingkan Sendang Gile.

Ada satu kejadian saat saya sampai di Tiu Kelep. Sandal saya hanyut terbawa derasnya arus sungai. Saat itu, selain kami berempat, juga ada 3 turis asing disana. Saya yang sedih kehilangan sandal tetap bertahan pulang dengan mengenakan sandal sebelah. Kenapa nggak dibuang aja sih? Saya yakin aja kalo ntar sandal saya bakal ketemu nyangkut dimana gitu. Dan ternyata feeling saya nggak salah, sandal saya sepertinya sudah ditolong Jaka Tarub bule yang udah pergi lebih dulu daripada saya, soalnya sandal itu bukannya nyangkut, tapi sudah ada di atas batu. Jadi udah nggak jaman ya sekarang Jaka Tarub nyolong selendang, yang ada Jaka Tarub nolongin sandal saya yang hanyut, haha.

Sepulangnya dari Tiu Kelep, kami mampir untuk membeli sate dan pepes ikan di warung lesehan di pinggir pantai. Rasanya itu adalah sate terenak yang pernah saya makan, mungkin saat itu karena kami lapar dan kelelahan sehabis diguyur hujan. Entah sate ini apa namanya, mungkinkah Sate Rembiga, kuliner khas Lombok yang lain lagi?
Sate ikan dan pepes ikan
Jackpot! New couple of that day : Nunu dan Eng

...to be continued...
Day 3. Romantisme di Pantai Pink dan Tanjung Ringgit

Discovered Lombok, Pulau Seribu Masjid (Part. 1)

Liburan akhir taun ini saya dan teman2 kos mengisinya dengan berpetualang di Lombok, Pulau Seribu Masjid. Biar kata Pulau Seribu Masjid, tapi wisata kami kali ini nggak ada satupun yang mengunjungi masjid sebagai tempat wisata, ke masjidnya cuma buat shalat aja sih, hehe. Kami berangkat berlima dari Surabaya. Pas banget dengan libur Natal dan ada cuti bersama, jadi kali ini saya nggak perlu repot2 cari alasan buat cuti, hehe. Tiket yang saya beli sih bukan tiket promo, tapi masih terhitung rendah mengingat perjalanan saya tepat pada momen liburan panjang. Disana saya menginap di Losmen Tjabe Merah di daerah Ampenan. 

Day 1.  Sunbathing di Gili Trawangan, Menikmati Senja di Bukit Malimbu dan Pantai Senggigi

Pagi itu, hhmm bukan, saya menyebutnya dini hari, suasana kos saya sudah hingar bingar. Maklum, kami sudah harus ada di bandara paling tidak pukul 4 pagi. Kami sengaja memilih pesawat yang paling pagi untuk berangkat agar kami bisa menikmati Lombok selama mungkin. Selepas tiba di Bandara Praya Lombok, kami dijemput oleh Mas Ivan. Selama di Lombok, kami menyewa mobil Mas Ivan untuk berkeliling selama 4 hari penuh. Beruntungnya lagi, Mas Ivan nggak sendiri. Dia mengajak seorang teman yang kocak abis. Kami memanggilnya Mas Eng (atau Mas Enk ya? Entahlah...). 

Dari bandara, kami langsung menuju penginapan untuk meletakkan barang bawaan. Di penginapan ini kami menyewa kamar seharga Rp.100.000,- /kamar/malam/. Satu kamar bisa ditempati berdua. Harga ini lebih murah karena saya memesan secara online. Selama 4 hari tinggal disini, saya merasa betah, karena rasakekeluargaannya kental sekali. Maklum, sama2 orang Malang. Pemiliknya sedag pergi berlibur ke Belanda, karena suaminya warga negara disana. Tapi 2 anak perempuannya tidak ikut berlibur. Mereka ini cantik sekali, Rofena dan Reza. Dengan muka bule tapi menjawab pertanyaan saya dengan bahasa Jawa saat belajar matematika. Sungguh...nggak berasa ada di luar kota, hehe...
Suasana penginapan

Suasana penginapan

Kembali ke itenary. Setelah itu kami langsung menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Kami menggunakan kapal umum dengan biaya total sebesar Rp. 18.000,- per orang. Kami sengaja menuju Gili Trawangan saja (bukan Gilli Meno dan Gili Air), mengingat masih banyak tempat yang ingin kami datangi dan waktu kami yang terbatas. Gili Trawangan saat itu cerah dan cukup ramai, malah sepertinya lebih didominasi oleh turis asing. Kami juga berjalan2 di dalam pulau sekedar untuk melihat2 walo hanya sebentar. Menjelang sore, kami kembali menyeberang ke Mataram. Kali ini biaya kapal lebih murah, hanya sebesar Rp. 15.000,- per orang.
Mau naek kapal, mesti action dulu
Gili Trawangan

Ini team saya kali ini

tongsis beraksi


Suasana di dalam pulau

Heaven on earth

Kami berencana untuk menikmati senja di Pantai Senggigi. Untuk menuju pantai ini, kami melewati Bukit Malimbu. Dari sini, Pantai Senggigi terlihat indah sekali jika tampak dari atas. Tapi kami fokus untuk ke Pantai Senggigi dulu untuk sekalian makan siang. Setiba di Pantai Senggigi, kami duduk di pantai dan memesan salah satu kuliner khas Lombok, Sate bulayak. Sate ini terdiri dari macam2 daging, ada daging ayam dan daging sapi. Sedangkan Bulayak berarti lontong yang berbentuk kerucut ramping. Jadi sebenarnya Sate Bulayak ini adalah sate lontong biasa, hanya saja lontongnya berbentuk lebih unik. Tips untuk wisatawan yang ini menikmati kuliner di PantaI Senggigi yaitu : jangan malu untuk menanyakan harganya, karena saat kami ingin membayar makanan, kami sempat kaget melihat harga yang harus kami bayar, Rp. 240.000,- untuk bertujuh. Cukup mahal menurut saya, mengingat daging yang disajikan kecil2 dan tempat makan yang kurang representatif (hanya beralas tikar di pantai).
Sate Bulayak
Bukit Malimbu

Tetep aja narsis

Senja di atas Bukit Malimbu
Senggigi dari Bukit Malimbu

Kami urungkan untuk menikmati senja di Pantai Senggigi, karena saat itu pantai cukup ramai dan kurang nyaman, sehingga kami memutuskan untuk kembali ke Bukit Malimbu saja. Menikmati sunset dari atas bukit ternyata bukan pilihan yang keliru. Kami berhasilmendapat golden sunset. Indah sekali. Menjelang malam, kami kembali ke penginapan. Saya sih sudah ada janji dengan teman2 kuliah saya. Kebetulan ada 2 orang teman saya yang berdomisili di Mataram. Jadi sekalian reuni kecil2an lah.

...to be continued...

Day 2. Bermain dengan Monyet di Hutan Pusuk, Menjelajah Air Terjun Sendang Gile, dan Tiu Kelep