Selasa, 14 April 2015

Sekelumit Kisah dari Pulau Biawak



Pulau Biawak, yang sebelumnya bernama Pulau Rakit, terletak sekitar 40 km di laut sebelah utara Kabupaten Indramayu. Saya tertarik mengunjungi pulau ini saat secara tidak sengaja menemukan referensinya pada saat saya browsing. Yang saya ketahui saat itu adalah pulau ini tidak seperti pulau-pulau destinasi wisata yang sudah terkenal lainnya, misalnya Kepulauan Karimun Jawa di Jawa Tengah dan Kepulauan Seribu di DKI Jakarta. Karena itulah saya maklum jika fasilitas dan infrastruktur disana, seperti perahu, jalanan, penginapan, dan sebagainya tentulah tidak sebaik pulau-pulau wisata yang lain. Tapi itu tidak menyurutkan niatan saya dan teman-teman untuk mengunjunginya. Disini saya akan menceritakan pengalaman saya dan teman-teman saat mengunjungi Pulau Biawak sekaligus ketidaknyamanan kami disana karena (mungkin) salah memilih agen penyelenggara, bukan karena Pulau Biawak-nya. 


Hari 1


Sama saat mengunjungi Kepulauan Karimun Jawa dan Kepulauan Seribu, saya menggunakan jasa agen agar tidak pusing lagi memikirkan sewa perahu, penginapan, dan sewa alat-alat snorkeling. Saat itu saya menemukan agen dengan paket harga untuk 2H1M sebesar Rp. 428.000,- (sebut saja Mas F sebagai agen penyelenggara untuk berkoordinasi). Untuk mengunjungi Pulau Biawak ini, perjalanan umumnya akan dimulai pada pukul 2 atau 3 dini hari. Tapi karena tim saya dari Surabaya baru akan tiba di Cirebon sekitar pukul 5 pagi, maka jadwal pun terpaksa diundur, penjemputan akan dilakukan jam 6 pagi di Cirebon. Kenapa di Cirebon dan bukan di Indramayu? Karena ada beberapa teman saya juga yang menunggu kami disana. Tapi rencana itu buyar berantakan, karena kenyataannya kami baru dijemput di rumah teman saya di Cirebon sekitar pukul 11.00 siang. Dan sampai disitu, kami dibawa bukan ke Pelabuhan Karangsong seperti perjanjian awal, tapi malah di Daerah Brondong. Dan tempat perahu nelayan itu bersandar benar-benar tidak tampak seperti pelabuhan, tapi berupa muara. Sampai disana ternyata kami diberangkatkan bersama tim dari Jakarta yang keberangkatannya juga ditunda karena ombak besar di laut. Kami berangkat dengan 2 perahu nelayan, dan hebatnya agen penyelenggara yang menjemput saya (sebut saja Mas A) tidak ikut berangkat bersama kami. Dia bilang nanti di Pulau Biawak sudah ada timnya yang menunggu.

Muara Brondong

Muara Brondong
 
Suasana dalam perahu

Kami mulai berangkat ke Pulau Biawak ditemani bapak nelayan yang mengemudikan perahu. Perahu yang saya maksud disini adalah perahu tradisional yang biasanya digunakan nelayan untuk mencari ikan dengan satu motor di samping perahu. Dan karena saat itu ombak memang sudah mulai besar, tidak sedikit teman saya di perahu mulai mengalami mabuk laut. Saya sendiri tidak henti-hentinya berdzikir dan berdoa agar segera tiba di darat dengan selamat. Kami mengarungi lautan selama sekitar 4 jam lebih. Saat kami tiba di Pulau Biawak, langit sudah mulai gelap, sehingga sudah tidak memungkinkan buat kami untuk melakukan apa-apa selain di penginapan atau sekedar duduk-duduk di dermaga atau pinggir pantai. Lagipula beberapa diantara kami tampaknya sudah sangat kelelahan akibat perjalanan yang lumayan berat sebelumnya. 

Disitu ada ketidaknyamanan lagi yang kami rasakan, yaitu pihak penyelenggara tidak cepat tanggap memberikan kamar kepada kami. Disana hanya ada beberapa orang penunggu penginapan, yaitu rumah-rumah dengan kamar yang ternyata sudah terisi kelompok yang datang di hari sebelumnya atau datang di pagi hari itu. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya kami mendapat satu rumah (berisi dua kamar) yang akhirnya kami pakai seluruhnya (termasuk ruang tamu kami beri kasur tambahan) untuk dua kelompok (sejumlah 14 orang). Malam itu tidak ada kegiatan berarti yang bisa dilakukan. Saya sendiri lebih memilih untuk duduk-duduk di pinggir pantai sebelum akhirnya beristirahat di penginapan.


Hari 2






Dermaga saat subuh. Perahu baru bisa berlayar hanya jika laut sudah pasang
Pagi itu saya kami bangun  pagi untuk memulai mengelilingi Pulau Biawak sendiri, sekaligus menaiki Mercusuar ZM Willem III. Entah kemana pihak penyelenggara saat itu, mungkin masih mengurus kelompok lain yang akan datang hari itu. Agar tidak membuang-buang waktu, akhirnya kami eksplore Pulau Biawak secara mandiri.




Kami berkeliling di sekitar pantai dan masuk hutan saat itu, terutama untuk melihat penangkaran Biawak. Sayangnya, karena tidak ditemani oleh pemandu, kami tidak berhasil menemukannya, selain keluar masuk hutan yang penuh nyamuk. Karena itu kami lalu menuju pantai dan dermaga untuk bermain-main, memancing, atau pun sekedar menikmati pemandangan pagi. 
Angle favorit saya

Coba ada ayunannya di pohon ini pasti lebih bagus

Satu-satunya biawak yang saya temui saat itu


Mercusuar ZM Willem III


Dibangun pada tahun1872 setinggi sekitar 65 meter dengan 17 tingkat. Bentuknya sudah terlihat cukup tua. Kami naek ke puncak secara bergantian, karena terus terang agak seram juga membayangkan berdesak-desakan di atas menara mercusuar, bahkan rasanya sudah cukup mengerikan saat naik turun tangga, apalagi jika harus berpapasan dengan orang, harus ekstra hati-hati.




Tapi pemandangan yang didapat saat kita berhasil naik ke puncak mercusuar luar biasa sekali. Pandangan langsung tertuju pada hutan di bawah mercusuar yang langsung berbatasan dengan laut lepas. Sayangnya saat itu saya menaiki menara saat pagi-pagi sekali, sehingga warna laut masih belum terlalu biru. Saya sarankan untuk para pengunjung agar menaiki mercusuar di siang hari agar warna birunya laut lebih terlihat jelas. Pada saat itulah, akhirnya pemandu penyelenggara pun datang bersama rombongan baru yang lain. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju Pulau Gosong untuk snorkeling.





Pulau Gosong


Walaupun bernama sama, tapi Pulau Gosong disini sangat berbeda dari Pulau Gosong yang terletak di Kepulauan Karimun Jawa. Untuk menuju Pulau Gosong, kami harus menempuh perjalanan dari Pulau Biawak sekitar 1 jam dengan perahu nelayan. Kata bapak nelayan, dulunya Pulau Gosong itu luas, tapi sekarang hanya tinggal beberapa meter persegi saja, rusak karena pengerukan pembangunan Pertamina Balongan.



Ketidaknyamanan kembali kami rasakan karena pihak penyelenggara tidak membawa cukup perlengkapan snorkeling sehingga kami terpaksa memakainya bergantian. Tapi kenyataannya hanya beberapa orang yang mendapat giliran, karena kelompok lain cukup lama memakai alat dan baru naik kembali ke perahu saat sudah waktunya untuk bergerak pindah pulau. Saya sendiri, hanya sempat snorkeling sekitar setengah jam, sisanya hanya saya gunakan untuk bermain-main di laut dan beberapa teman saya malah sibuk memancing.


Setelah itu kami pindah spot untuk snorkeling yaitu di bagian belakang Pulau Biawak. Disini kedalaman sekitar 3-5 meter, jauh lebih dalam daripada spot di Pulau Gosong tadi. Setelah berpuas-puas diri snorkeling disana, barulah kami kembali ke Pulau Biawak untuk segera bersiap-siap pulang ke Indramayu. Tentunya kami kembali bersama nelayan saja, bukan pihak penyelenggara.


Saat perjalanan pulang ternyata tidak lebih baik daripada saat berangkat. Di tengah-tengah laut yang sudah gelap, kami malah terjebak di bawah gerhana bulan. Otomatis ombak sangat tinggi. Saat itu diantara kami tidak ada yang mabuk laut, mungkin karena otak dan pikiran kami fokus pada suasana yang mencekam pada saat itu.
Perahu saat pulang

Takut. Itu yang saya dan mungkin sebagian besar teman-teman saya rasakan saat itu. Bagaimana kalau kami tidak selamat, tergulung ombak besar, apakah ada yang akan menolong kami, sementara kami ada di tengah-tengah laut yang gelap. Saat itu saya melihat jaket pelampung. Ternyata jumlahnya kurang dari jumlah total penumpang. Disitu saya kembali kecewa pada pihak penyelenggara. Bagaimana mungkin mereka kurang perhatian pada keselamatan kami?
Keadaan langit dan laut sesaat sebelum badai


Catatan untuk Tim Penyelenggara

Sejujurnya Pulau Biawak merupakan tempat yang cukup indah, jika saja saya tidak merasa terganggu dengan beberapa sikap dari pihak penyelenggara. Tulisan ini saya buat untuk merangkum perjalanan kami sekaligus kekecewaan kami terhadap pihak penyelenggara.


1. Pihak penyelenggara (Mas F) sulit untuk diajak berkoordinasi. Sering pesan saya  hanya bertanda centang 1 atau telepon tidak diangkat. Mungkin saat itu sedang jam kerja karena yang saya tahu, penyelenggara acara Pulau Biawak ini pekerjaan sampingan untuk Mas F. Saya sarankan jika seperti itu, ada baiknya ada pihak lain yang membantu (contact person ada beberapa) sehingga memudahkan calon peserta dan pihak penyelenggara untuk saling berkoordinasi atau berdiskusi mengenai hal-hal yang terkait.

2. Pada saat terjadi penundaan keberangkatan, saya dan teman-teman sempat terkatung-katung di stasiun karena Mas A (yang bertugas menjemput kami) tidak bisa dihubungi. Sehingga saya terpaksa menghubungi Mas F kembali. Ada baiknya apapun yang terjadi pada pihak penyelenggara, baik penundaan atau keberangkatan untuk segera memberi kabar pada peserta agar tidak sama seperti kami yang nasibnya sempat tidak jelas.

3. Saat kami pergi ke Pulau Biawak adalah saat-saat high season atau libur panjang. Karena itu saya maklum jika pengunjung bisa terdiri dalam beberapa kelompok sekaligus. Tapi itu bukan berarti membolehkan kami pergi berangkat sendiri tanpa ditemani dengan pihak penyelenggara sama sekali.

Saat itu kami hanya ditemani nelayan pengemudi perahu. Pihak penyelenggara ada yang sudah berada di pulau. Tapi kenyataannya kami tetap kebingungan karena begitu sampai, rumah penginapan yang tersedia sudah terisi semua.

Ternyata sesampainya kami disana, bukan hanya kami yang mengalami pengalaman kurang enak. Ada satu kelompok yang bercerita pada saya, bahwa dini hari dia ikut perahu nelayan sendiri, karena tidak ada pihak penyelenggara sama sekali di pelabuhan. Bahkan ada kelompok lain dengan paket 3H2M yang artinya sudah semalam disitu sebelum kami, tapi tidak mendapatkan fasilitas apapun selain penginapan dan makan (tanpa acara eksplor pulau atau snorkeling). Sungguh benar-benar terlantar.

4.  Alat-alat untuk snorkeling sebaiknya disesuaikan dengan jumlah peserta. Kalaupun harus bergantian, sebaiknya benar-benar bergantian di satu tempat yang sama, bukan seperti kami yang bergantian di tempat yang berbeda. Otomatis, kami kehilangan salah satu spot.

Begitu juga dengan fasilitas foto underwater yang dijanjikan. Itupun tidak kami dapatkan dengan dalih batere habis dipakai oleh kelompok lain. Foto-foto yang kami punya itu dari kamera kami sendiri. Benar-benar seenaknya.

5.  Pada saat kami selesai snorkeling, kamar mandi yang kami tinggal benar-benar ditinggal tanpa air. Penyelenggara baru tergopoh-gopoh menyalakan pompa air saat kami sudah datang di lokasi. Benar-benar tidak ada persiapan.

6. Fasilitas sebaiknya diperbaiki. Saat kami berlayar, misalnya. Saya tidak melihat jaket pelampung lengkap sesuai dengan jumlah peserta. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tengah perjalanan. Saya tahu sudah ada asuransi yang menanggung kami. Tapi alangkah bodohnya jika hal yang buruk terjadi “hanya” karena keteledoran pihak penyelenggara.

7.  Sama seperti saat kami kembali ke Indramayu. Saat itu terjadi gerhana bulan. Saya pikir, gerhana bulan adalah sesuatu yang bisa diprediksi dan tentunya hal itu sudah termuat dalam berita, baik media cetak ataupun online. Yang saya sesalkan disini, pihak penyelenggara yang tidak bisa mengantisipasi dan tidak bisa mmeperkirakan waktu yang aman untuk berlayar. Sehingga kami pulang dan berada di tengah-tengah laut saat terjadi gerhana bulan dan ombak pastinya sedang ganas-ganasnya. Kembeli tanpa alat penyelamatan yang lengkap dan tanpa didampingi pihak penyelenggara. Benar-benar mengecewakan.

Ada satu kelompok yang sebenarnya masih tersisa satu hari lagi disana tapi ikut pulang bersama kami karena kecewa dengan pihak penyelenggara. Beberapa dari kami sempat protes, tapi hanya dijawab dengan kata “maaf” dan saat kami komplain, dalih yang sering diucapkan adalah, “ Maaf, saya harus handle kelompok yang lain dulu karena ada banyak kelompok”. Nah...sudah tahu ada banyak kelompok, kenapa tidak menambah personel pemandu. Sungguh benar-benar mengecewakan.

Saya rasa sebaiknya pihak penyelenggara berbenah untuk memperbaiki diri. Sayang sekali pengalaman kami di Pulau Biawak yang indah harus tercoreng karena sikap pihak penyelenggara yang terkesan tanpa persiapan dan seenaknya sendiri.

Kami datang untuk menikmati alam Pulau Biawak, bukan untuk bunuh diri.


Geng hore
 
...What's next?...