Selasa, 04 Oktober 2016

From Sunrise ‘Till Sunset at Yogyakarta


Ini cerita saya seharian di Jogja, mulai dari pagi-pagi buta hingga langit gelap. From sunrise ‘till sunset.

Menyapa Sunrise di Puncak Suroloyo

Salah satu tempat untuk menyapa matahari terbit di Yogyakarta adalah Puncak Suroloyo. Terletak di Perbukitan Menoreh Yogyakarta dengan ketinggian sekitar 1000 mdpl. Saya berangkat pukul 3 pagi dari tengah kota.
Untuk mencapai puncak Suroloyo, jalanan yang dilalui lumayan menanjak dan berkelok-kelok. Setelah sampai di tempat yang disediakan untuk parkir kendaraan, kita masih harus menapaki sekitar hampir 300 anak tangga untuk mencapai puncaknya.

Jalan menurun sepulang dari puncak Suroloyo

Di Puncak Suroloyo terdapat Sayangnya, karena tempo hari saya kesana saat musim hujan, begitu sampai puncak, turun gerimis, dan tentunya matahari terbit mungkin tidak bisa saya temui saat itu. Syukurlah, gerimis tidak terlalu lama, sehingga saya bisa menapaki anak tangga hingga puncak.

Di Puncak Suroloyo terdapat bangunan semacam pendopo, yang dinamakan Pertapaan Suroloyo. Dari atas sini, sebenarnya saya bisa melihat Candi Borobudur, sayang kabut sehabis hujan membuat pandangan terhalang. Namun, matahari terbit tetap bisa saya lihat dari atas sini, walaupun agak terlambat.

Negeri Suroloyo di atas awan

Hold Your Breath At The Top Of The Tree In Kalibiru

Masih di Perbukitan Menoreh, saya langsung menuju Desa Wisata Kalibiru di daerah Kulon Progo. Desa ini sudah mulai sering dikunjungi wisatawan, dan style foto yang sangat mainstream adalah...berfoto di atas pohon sambil menatap Waduk Sermo dari kejauhan. Saya pun nggak ketinggalan mencoba berfoto disana. Karena ramai, waktu itu saya antre sekitar 1 jam lebih. Setelah mendapat giliran untuk naik ke atas pohon, cukup 5-10 menit untuk bergaya macam-macam di atas sana.





Ada 3 spot foto. Makin jauh ke dalam daerah wisata makin murah tarifnya. Waktu itu saya memilih spot foto dengan tarif Rp.30.000,-. Itu spot foto yang paling dekat dari pintu masuk (berjalan kaki sekitar 20 menit agak menanjak). Sebelum naik, tentunya badan kita diikat dengan tali, dan sudah ada fotografer yang dari kejauhan akan mengambil foto-foto kita. Foto-foto itu bisa kita ambil melalui transfer hape atau flashdisk dengan tarif Rp.5.000,- per foto. Cukup murah menurut saya untuk pengalaman. Selain itu kita bisa mencoba permainan flying fox, naik jembatan gantung, atau bisa juga sekedar menikmati minuman hangat dari ketinggian.


Wish y ou were here
Menatap Senja di Selatan Yogyakarta

Tujuan saya terakhir di hari itu menuju Queen of Resort di daerah dekat Parangtritis. Bagian belakang dari resort itu menunjukkan keindahan senja. Pengunjung umum pun bisa masuk dan tidak harus menginap di resort tersebut. Sayangnya, karena situasi macet, saya agak terlambat memasuki resort tersebut. Senja sudah tampak saat saya mulai memasuki areanya.

Tidak ingin ketinggalan penampakan sunset, saya segera turun dari mobil di pinggir jalan menuju Queen of Resort. Saya kurang tau persisnya dimana. Yang jelas tempat saya berhenti saat itu adalah pinggir tebing pantai dan terdapat puing-puing bekas reruntuhan gedung. Walau terkesan tidak teratur dan  ditinggalkan, masih ada kecantikan yang tersisa disitu. Hari itu perjalanan saya, saya akhiri di selatan Yogyakarta untuk saya lanjutkan esok harinya.


Gunung Api Purba Ngelanggeran

Ada beberapa destinasi yang saya rencanakan akan saya datangi hari ini. Yang pertama adalah Gunung Api Purba Ngelanggeran. Dataran tinggi dan perbukitan dengan tebing-tebing batu kokoh yang tegak menjulang vertikal. Saya naik lumayan tinggi, walau tidak sampai puncak. Sengaja begitu, karena disamping lelah, saya juga harus mengejar waktu karena ada 2 tempat lagi yang ingin saya kunjungi.




Itu yg papan paling bawah kayak nama gunung Sun Go Kong

Superwoman

Kebun Buah Ngelanggeran

Ini tempat kedua. Dan ketika saya sampai disini, matahari tepat panas-panasnya di tengah ubun-ubun. Memang salah strategi sih, karena sebenarnya waktu terbaik mengunjungi tempat ini justru sore hari untuk menikmati matahari tenggelam. Pemandangan lain yang bisa kita nikmati dari tempat ini adalah Embung Ngelanggeran. Embung itu seperti kolam besar, yaaaa...mirip danau lah. Namun saya disini juga tidak terlalu lama....nggak kuat panasnya, hohoho







Hutan Pinus Wisata Alam Puncak Becici


Ini tempat yang saya rencanakan untuk tempat bersantai hingga sore. Terkabullah keinginan saya, karena justru saat saya baru memasuki tempat ini, hujan turun cukup deras. Saya yang tadinya menikmati secangkir kopi panas di salah satu warung disitu terpaksa harus kembali dan berdiam saja di dalam mobil. Beruntung hujan tidak turun terlalu lama. Di hutan pinus ini sebenarnya tidak terlalu banyak tempat yang bisa dilihat. Hanya pohon pinus saja (ya iyalah...namanya juga hutan pinus, nah elu mau ngeliat apaan lagi, neng?). Hanya saja, jika pintar mengambil sudut dalam memotret, kita bisa mendapat hasil yang wow. Ada juga tempat pijakan kayu di atas pohon (mirip seperti di Kalibiru) jika ingin melihat pemandangan dari atas pohon pinus.





Yogya. Saya malah sering banget datang ke tempat ini. Bisa sebulan atau dua bulan sekali. Sebenarnya bukan kota baru. Tapi selalu ada hal baru yang bisa kamu lakukan di Yogya :)

Gerbang Masjid UGM, akhir jalan-jalan saya hari itu


What's Next??

Jumat, 16 September 2016

Same Old Brand


Sepenggal kisah dari ulang taun saya kemaren.

Tanggal 14 September kemaren, saya berulang tahun. Alhamdulillah saya masih diberi umur dan diberi sehat. Saya punya keluarga dan teman-teman kesayangan dengan segala ucapan dan doa-doa baik. Saya punya pekerjaan, punya tempat tinggal (walaupun itu masih ngekos), dan tidak ada kekhawatiran mau makan apa untuk hari ini, juga insyaallah untuk besok, dan lusa. Alhamdulillah, kalo kata artikel yang saya baca, saya cukup kaya diantara penduduk-penduduk dunia. Tapi kadang memang selalu ada aja yang sedikit mengusik di hari bahagia saya tempo hari. Yaitu dorongan untuk menikah. Sungguh...saya sangat menghargai dan berterima kasih jika ada yang mendoakan "Semoga dekat jodohnya ya", "Semoga cepat menikah", semoga ini semoga itu...tapi alangkah berbedanya jika segenap doa dan motivasi itu dibungkus dengan kalimat seperti ini, "Ayo, kapan nikah", "Cepat nikah dong...buruan tunggu apa", atau “Kapan nikah? Aku aja sudah begini begitu...si ini sudah begini begitu...”...dll dll dll bla bla bla (see the difference?) *dan tiba-tiba tulisan terlihat burem ga kebaca (males), hehehehe

Sungguh, saya malas membaca atau mendengar seperti itu. Hell to the lho....heellooowww pemirsaaaa....yang ngomong gitu kan bukan sebiji dua biji, bukan sekali dua kali...lama-lama panca indera yang resisten denger begitu sih ya jengah juga. Kadang saya bisa cuek, tapi apalah saya yang hanya seorang manusia biasa, kadang urat cuek saya bisa putus waktu mengalami kayak begitu.

Kadang itu bukan untuk saya yang belum menikah. Itu mungkin juga dialami dengan orang yang sedang berjuang ingin punya anak, berjuang ingin dapat pekerjaan yang baik, atau berjuang yang lain-lain. Bayangkan betapa sepetnya pikiran mereka jika orang-orang bilang seperti ini, “Ayo cepetan punya anak, aku aja anaknya udah 2,  si onoh anaknya udah SD”, atau “Kamu disini-sini aja sih, ya nggak bakal dapet kerjaan yang enak”. Apa nggak pengen digampar?

Duhai manusia-manusia di luar sana yang hati dan pikirannya cupet, emang dikata cari jodoh, dapet anak, dapet kerjaan bagus, dll itu kayak beli nasi pecel. Kamu laper, noh tinggal jalan ke warung depan beli pecel.

:: what's next? ::

Jumat, 15 Januari 2016

What The Worst Of The Broken Heart

Duduk di sini sambil menunggu matahari terbenam kayaknya cakep. It's called Peace.
Pernah jatuh cinta? Atau pernah patah hati? Mungkin kalo pertanyaan itu ditanyakan kepada semua orang di dunia, 98% bakal menjawab ‘pernah’. Tahu dari mana sih, Mel? Emang valid gitu datanya? Eh suka-suka sayalah, saya yang punya blog ini, jadi percaya aja deh, hehe

Saya juga pernah ngalamin keduanya. Pernah jatuh cinta dan sampe detik ini sih, alhamdulillah berakhirnya di patah hati. Mulai dari putus cinta, bertepuk sebelah tangan, sampe belom apa-apa udah ditinggal udah pernah semua. Kok alhamdulillah ya? Iyalah, segala sesuatu itu perlu disyukuri. Hati kita sakit pun musti disyukuri. Itu tandanya kita masih manusia. Coba saya sudah nggak bisa ngerasain apa-apa? Ya saya di Rumah Sakit dong, dirawat karena koma (naudzubillah), nggak disini sekarang, duduk sambil ngetik blog yang sudah lama saya anggurin gegara saya kadang terlalu sibuk. Sibuk sama kegiatan, sibuk sama perasaan. Jadi bener juga kata orang bijak, kalo segala sesuatu itu perlu disyukuri. Masalahnya...kadang-kadang saya kesulitan berperilaku bijak, terutama kalo lagi galau, hehe

 Jatuh cinta. Mau berapa kali pun saya jatuh cinta (walo jari-jari di tangan saya belum habis kalo buat menghitung berapa kalinya), selalu saya ngerasanya seperti itu pertama kali. Rentetan kata-kata drama maupun telenovela terasa benar adanya, langit warna-warni, bunga-bunga dimana-mana, bawaannya nyengir mulu, sampai ‘butterflies in my stomach’ semburat saya rasakan itu benar adanya.

Patah hati. Sama dengan jatuh cinta, mau keberapa kalipun saya ngerasain patah hati, rasanya sakitnya tetep sama seperti pertama kali. Pain is pain. Saya gambarkan sedikit banyak nih ya. Patah hati itu seperti patah tulang rusuk (padahal alhamdulillah sampe detik ini saya nggak pernah patah tulang rusuk). Kadang nggak keliatan dari luar, tapi sakitnya ampun-ampunan. Bahkan mau napas aja kayak kerasa beraaaaaaaatt banget.

Satu hal yang menurut saya paling nggak enak saat patah hati itu ya (mau putus cinta, ataupun bertepuk sebelah tangan, dll) itu adalah : Saya terpaksa menghentikan hal-hal yang biasa saya lakukan atau malah melakukan sesuatu diluar kebiasaan saya. Misalnya, yang biasanya saya telpon-telponan  jadi nggak lagi. Atau biasanya saya lewat jalan tertentu, karena kenangan yang bikin galau, saya terpaksa memutar. Ya seperti itulah. Intinya disini adalah masa adaptasi. Dan masa-masa ini adalah masa yang paling berat. Masa-masa penyesuaian diri dan fase dimana saya harus menerima kenyataan, sepahit apapun.

Dan satu lagi. Ada beberapa orang yang bilang kalo tidur itu bisa melupakan masalah. Buat saya pribadi memang saat tidur itu saya sempat lupa (namanya juga tidur gitu...), tapi prosesnya itu lho, sebelum tidur dan sesudah tidur, nggak akan membantu mengurangi masalah. Misal, skala sakit itu 0-10. Seharian ini saya berusaha berdamai dengan rasa sakit, it’s hard to deal with the pain. Dan nilai rasa sakit itu dari pagi hingga malam mulai dari 10 berkurang ke 8. Begitu saya tidur dan bangun esok harinya, saya akan ngerasa seperti bangun dari mimpi indah dan harus menghadapi kenyataan yang jelas bikin saya ngerasa sakit. Saya akan kembali memulai skala itu dari awal, yaitu nilai 10, bukan dari nilai 8. Ini seperti orang disiksa berulang-ulang. Dan itu jelas nggak enak rasanya.

Satu hal lagi yang buat saya nggak ‘make sense’. Saat orang yang saya sayang akan bilang “Semangat, Mel”. Gimana saya bisa semangat saat justru sang semangat itulah yang pergi?Masih saya ingat, kejadian duluuuu banget di suatu stasiun kereta. Justru semangat saya dibawa pergi kereta itu. Dan sekarang lagi, saya dihibur oleh sang pembawa luka. Sungguh, saya nggak mengerti para pria. Tapi...nggak ada yang salah kok. Nggak ada.


Fase-fase penyesuaian diri itu akan terus berjalan sampai saya bisa ikhlas. Sebenarnya emang itu sih penyelesaian dari semua masalah, ikhlas. Enteng diucapkan, berat diaplikasikan. Tahun ini baru dimulai...dan saya sudah ngomongin soal patah hati. Maybe this year starts with pain, but it doesn’t mean for whole this year. Semangat, Ameeellll \^o^/


:: What's Next? ::