Selasa, 24 November 2015

Eksotisme Maluku

Sunset swing di Ora
Dream comes true. Mungkin itu gambaran yang paling tepat saat saya mendapat surat tugas untuk pergi ke Ambon. Bayangan saya sudah melanglang buana, selesai urusan kerja, rencana untuk pergi ke beberapa tempat di Provinsi Maluku, khususnya Pantai Ora, sudah terbayang jelas.

Pantai Ora

Saya tahu pantai ini terus terang saja dari mesin pencari Google. Saat itu saya sedang browsing gambar pantai, dan yang saya temui adalah gambar serta artikel Pantai Ora. Rasanya seperti mimpi bisa pergi ke sana. Pantai Ora terletak di Pulau Seram Utara, Maluku Tengah.

Saya berangkat mulai pukul 6 pagi dari kota Ambon dengan mobil sewaan. Saran saya untuk para backpacker, sebaiknya ajak teman paling tidak ber-4 atau ber-5 untuk menghemat sewa mobil. Beruntungnya saya, saya mendapat sewa yang cukup murah, lebih murah jika dibandingkan persewaan yang lain. Sewa mobil ini sudah termasuk driver, bbm, dan tiket kapal. Saya berangkat pukul 6 pagi menuju Pelabuhan Hunimua Liang. Perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dari Kota Ambon. Kapal yang ditempuh dari Pelabuhan Hunimua Liang ke Palabuhan Waipirit adalah kapal cepat. Dibutuhkan sekitar 2 – 2,5 jam untuk penyeberangan. 

Pantai di pelabuhan Hunimua Liang
Langit dan awan yg luar biasa di Hunimua Liang
Setelah sampai di Pelabuhan Waipirit, Pulau Seram, saya masih harus menempuh perjalanan lagi selama sekitar 5 jam menuju Desa Saka. Selesai di Saka? Belum. Saya masih harus menyeberang lagi dengan perahu kecil dari pantai Saka menuju Pantai Ora selama sekitar 15 menit. Gak bosan-bosannya saya melihat pemandangan selama menyeberang. Deretan bukit Taman Nasional Manusela dan air laut yang jernih terhampar sepanjang perjalanan.

Pelabuhan Waipirit

Sepanjang jalanan di Pulau Seram

Pantai Saka

Taman Nasional Manusela

Taman Nasional Manusela
Dan akhirlah sampailah saya di Pantai Ora. Bagi yang ingin menginap disini, tersedia 3 jenis kamar, antara lain kamar gantung laut (700.000/kamar), kamar gantung darat (500.000/kamar), dan kamar darat lama (400.000/kamar). Ini belum termasuk biaya makan yang dikenai 450.000/orang. Berhubung saat saya booking dari Surabaya kamar gantung laut sudah full book, saya tidak menginap di Ora. Saya memilih tempat alternatif di Sawai.


Ora Beach Resort

Air laut yang jernih

Penginapan Ora

Kamar gantung darat di Ora

Ora Beach Resort


Menikmati secangkir teh bersama senja di Ora 

Saya narsis dulu, boleh yaaa? :)

Desa Sawai

Saya memilih menginap di Lisar Bahari. Kamar-kamar disini semua bergantung di atas laut. Memang pemandangan laut masih lebih bagus di Ora, karena itulah harga sewa kamar lebih murah yaitu sebesar 300.000/orang (sudah termasuk biaya makan). Disamping pemandangan sunrise yang juga indah, hidangan yang didominasi oleh hidangan laut menambah poin plus plus plus plus tempat penginapan ini (secara saya hobi banget makan seafood). Air laut yang jernih di Sawai juga mengundang saya untuk segera menceburkan diri selepas bangun tidur, biar sekaligus mandi kali ya...hahaha

Penginapan Lisar Bahari di Sawai

Air laut yang jernih di Sawai

Sunrise di Sawai
Satu hal yang saya ingatkan kepada teman-teman yang snorkeling di daerah Sawai maupun Ora, berhati-hatilah terhadap kima. Kima ini sejenis kerang yang sengaja ditanam nelayan di perairan yang rendah untuk melindungi terumbu-terumbu karanglainnya. Kima kaan menutup dengan sendirinya jika dimasuki benda asing, kaki misalnya. Saya sempat menemui kima yang cukup besar dan mencoba menyentuh ujungnya dengan ujung tongkat kayu, dan kima menutup dengan perlahan. Nelayan lokal yang mengingatkan saya untuk memakai penutup kaki (kaki katak) saat snorkeling untuk meminimalisir resiko dan jangan sampai menginjak terumbu-terumbu karang disana.

Kima, ini ukuran yang cukup besar

Mata Air Belanda dan Tebing Batu Sawai

Setelah puas snorkeling di Sawai, pagi itu saya dijemput oleh perahu kecil yang akan membawa saya berkeliling mengunjungi Mata Air Belanda dan Tebing Batu Sawai. Mata Air Belanda terletak di dalam pulau yang dikelilingi hamparan pasir putih yang lembut. Jarak dari Sawai sekitar 15-20 menit dengan perahu. Pemandangan pantai sekelilingnya pun tak kalah indah. Mata air ini termasuk air tawar dan terasa dingin saat kita masuki. Saya mencoba untuk masuk dan berjalan ke dalam lumayan jauh, baru berjalan memutar kembali saat jalan yang saya lalui tertutupi batang-batang pohon yang jatuh menghalangi jalan.

Menyusuri sepanjang tebing batu

God's painting
Mata Air Belanda

Dilanjut ke tebing batu dengan menumpang perahu lagi. Jaraknya cukup dekat, sekitar 10-15 menit saja dari mata air belanda. Di tebing batu ini juga terdapat gazebo kecil untuk sekedar meletakkan barang-barang kita saat akan snorkeling, bagus juga untuk jadi lokasi pemotretan. Berhubung saat saya datang kondisi tebing batu cukup ramai, saya tidak terlalu lama disana. Dilanjut pergi kepulau lain (sayang saya lupa namanya) untuk sekedar duduk-duduk dan makan ikan bakar disana. Oh ya, fasilitas makan siang ini juga didapat dari penginapan di Sawai. Menu komplit, diantar dengan perahu boat, nasi panas, ikan bakar, lengkap dengan sambal colo-colo khas Maluku. Nikmatnyaaaaa....







Kota Ambon

Lapangan Merdeka dan Gong Perdamaian

Setelah menginjak Pulau Seram, saya kembali ke Kota Ambon. Disini saya sempat mengunjungi beberapa icon khas kota Ambon, yaitu Patung Pattimura di Lapangan Merdeka dan Gong Perdamaian. Mudah untuk mendatangi kedua tempat ini karena letaknya berhadapan. Untuk mencapai tempat ini pun juga tidak sulit. Cukup naik angkutan kota ataupun ojek. Mungkin jarak tempuh hanya sekitar 10 menit dari hotel tempat saya menginap di daerah Waihaong. Jangan ragu untuk bertanya. Orang Ambon sangat ramah.

Icon Lapangan Merdeka

Patung Pattimura

Gong Perdamaian

Pantai Natsepa

Belum ke Ambon kalau belum makan rujak Natsepa di pingiir Pantai Natsepa. Disini penjual rujak berjualan berderetan. Kalau belum puas makan di tempat, bumbu rujak bisa dibeli untuk dibawa pulang. Bisa bertahan hampir sebulan jika diletakkan di dalam lemari es.

Rujak Natsepa
Deretan penjual rujak di sepanjang Pantai Natsepa

Pantai Natsepa
Pantai Tapal Kuda

Pantai ini terletak cukup dekat dengan Kota Ambon, hanya sekitar 30 menit mengendarai motor dari pusat kota. Pemandangan sunset di pantai ini pun tak kalah indah.

Sunset di Pantai Tapal Kuda


Sebenarnya masih banyak tempat lagi yang bisa dikunjungi. Sayangnya, saya tidak mendapat cuti untuk kemari. Tapi 3 hari waktu bebas saya rasa sudah cukup memenuhi keinginan saya menikmati eksotisme Maluku. Jangan lupa mampir di tempat oleh-oleh ikan bakar sebelum menuju bandara. Harga 100.000 saja untuk 3 ekor ikan. Sudah dibungkus dengan rapi sehingga tidak berbau jika dimasukkan ke dalam kabin pesawat. Mengingat rasanya masih banyak tempat di Maluku yang belum saya kunjungi, rasanya tidak meolak jika harus pergi kesana lagi suatu hari :)


Sambal colo-colo dan ikan bakar
 :: What's Next? ::

Jumat, 03 Juli 2015

Gadis Kecil Bermukena Pink

Tiba-tiba saja dia muncul mengikutiku dari belakang. Langkah-langkah kecilnya berusaha menjejeri langkah kakiku, yang menurut orang-orang, tergolong lebar-lebar. Aku, yang memang saat itu sedikit tergesa menuju ke arah masjid untuk menunaikan taraweh, sempat menoleh ke arahnya, hanya untuk memastikan siapa gadis kecil ini. "Ah, mungkin dia salah mengenali orang", begitu pikirku saat itu. Tapi gadis kecil ini tetap menjejeri langkahku dan mengikuti hingga lantai 2 di masjid. Tiba-tiba dia menunjuk satu tempat sambil menoleh ke arahku dan berkata, "Disini saja". Aku menurut saja dan membeberkan sajadahku secara horisontal agar bisa dipakai berdua dengannya.

Sambil menunggu waktu untuk shalat, aku mendengarkannya berceloteh banyak hal. Aku sendiri tidak tahu, apa yang mendorong gadis kecil bermukena pink ini mau begitu saja bercerita apa saja denganku. Sesekali aku timpali ceritanya dengan pertanyaan-pertanyaan ringan. Mulut mungilnya terus bercerita, dan aku tak merasa bosan sedikit pun mendengarkannya.

Terus terang, saat itu suasana hatiku sedang kacau. Tadinya aku berjalan ke arah masjid itu dengan banyak pikiran yang menumpuk. Tapi langkah kakiku saat kembali dari masjid terasa berbeda. Perasaanku sedikit lebih ringan, padahal sungguh, belum ada satupun dari pikiran-pikiranku yang terselesaikan. 

Aku berpikir ada banyak cara Tuhan memberikan penghiburan. Untukku, mungkin lewat gadis kecil ini. Entah apa yang sudah dia lakukan, hanya dengan mendengarkannya bercerita, memperhatikan gayanya, gerak-geriknya saat mempraktekkan ceritanya, sudah mampu membuatku banyak tersenyum. Gadis kecil ini begitu cantik, begitu lucu, dan aku bersyukur bisa bertemu dengannya, walau hanya sebentar. Alhamdulillah.

....What's Next?....

Selasa, 30 Juni 2015

Traveller Galau dan Cemen – Eksplore Lumajang




Tergoda oleh foto seorang teman di Puncak B29 di Lumajang, akhirnya saya pun tergerak untuk melangkahkan kaki kesana. Saya dan teman-teman sebanyak 8 orang pergi ke Lumajang pada awal bulan Mei. Dengan pertimbangan pada saat itu, hujan sudah mulai jarang turun, walaupun kenyataannya musim kemarau tahun ini di tempat saya tergolong kemarau basah, jadi terkadang masih turun hujan di beberapa tempat. Kami pergi 2 hari 2 malam, dengan malam pertama kami isi di jalan. Kami berangkat malam hari dari Surabaya dengan mobil sewaan. Tujuan kami Kabupaten Lumajang dengan beberapa destinasi. Kita mulai secara runtut saja ya.


Kompleks Goa Tetes dan Coban Sewu


Kami berangkat dari rumah teman kami di daerah Pasirian – Lumajang agak siang. Berhubung perjalanan macet dari Surabaya ke Lumajang yang mengakibatkan planning sampai malam hari jadi  molor sampai subuh. Kami sampai di daerah Pronojiwo Lumajang sekitar 1 jam kemudian. Kami menuruni jalan yang lumayan curam untuk menuju Goa Tetes.
Jalan masuk ke kawasan Goa Tetes

Sudah tengah hari saat kami mencapai air terjun mini di bawah Goa Tetes. Berhubung destinasi kami masih banyak dan kami sudah sangat lelah (cemen banget yak), maka rencana untuk meneruskan perjalanan ke Coban Sewu dengan berat hati kami skip. Kami pun bergegas naik menuju tempat dimana mobil kami diparkir. 
Tanda larangan masuk Tumpak Sewu jjika cuaca buruk

Tangga air yang cantik

Lereng di kompleks Goa Tetes

Saling membantu itu wajib hukumnya

Goa Tetes (dari bawah)


Dalam perjalanan pulang, kami mendengar kabar bahwa ada seseorang yang mengalami kecelakaan di Coban Sewu saat itu. Esok harinya baru kami tahu bahwa korban ternyata laki-laki, masih mahasiswa, dan tewas terjatuh dari ketinggian saat mencoba mengambil foto selfie. Merinding rasanya membayangkan dia terjatuh dari ketinggian yang sebegitu rupa.


Gladak Perak


Sepulang dari Goa Tetes, kami kembali menuju Pasirian. Saat perjalanan pulang tersebut, kami mampir di Gladak Perak. Ini adalah jembatan yang dibangun di atas Sungai Besuk Sat yang sudah ada sejak jaman Belanda. Sungai ini merupakan sungai aliran lahar dingin muntahan dari Gunung Semeru. Kami pun sejenak beristirahat disitu sambil menikmati tahu goreng yang diberi bumbu petis. Katanya sih memang juaranya disitu. Setelah cukup beristirahat, kami kembali pulang ke rumah teman di Pasirian.


Sungai aliran lahar dingin Semeru

Jalan yang lengang



(Rencananya) Sunset di Puncak B29


Sore hari setelah cukup beristirahat di rumah, kami berencana untuk langsung menuju kawasan Argosari Lumajang, tak lain tak bukan untuk mengejar sunset di Puncak B29. Namun apalah daya, karena kurangnya persiapan yang matang dan waktu yang memang sudah molor dari awal, sampai di kaki bukit, kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Pertimbangannya saat itu sudah memasuki waktu Maghrib dan pastinya begitu sampai puncak pastilah sunset itu sudah tidak terkejar. Jadilah sore itu kami bak traveller galau yang mondar-mandir Pasirian – Argosari tanpa hasil, hehehe



Sunrise di Puncak B29
  

Untuk kali ini, kami tidak mau gagal lagi karena sebenarnya inilah tujuan utama kami ke Lumajang, desa di atas awan di B29. Kami berangkat sekitar pukul 2 pagi dari Pasirian Lumajang. Kami sampai di Argosari, tempat kami memarkir mobil kurang dari pukul 3 pagi. Kami, yang notabene traveller cemen memilih untuk naik ojek sampai ke puncak, berhubung kalau ditempuh dengan jalan kaki bisa sampai 2 jam lebih yang artinya lewat pulalah sunrise itu. Setelah tawar-menawar dengan mas-mas ojek, disepakati harga 75rb untuk desa ke puncak B29 pulang-pergi. Kelak saya akan tahu, harga segitu terhitung murah untuk perjalanan yang nanti akan saya lewati.

Kami pun mulai naek ke atas boncengan satu-persatu. Ada sih yang sampe bonceng 3 (cowok-cowoknya nih, nekat bener). Belum ketemu jalan yang berbatu-batu, baru sekesar jalan yang berkelok-kelok, saya diam-diam mennagis di boncengan belakang. Mas-mas ojeknya ngebut banget yak. Entah karena dia sudah terbiasa atau memang begitulah seharusnya menaiki puncak dengan kecepatan tinggi, yang jelas saat itu saya merasa takut sekali.


Belum selesai sampai disitu. Akhirnya kami bertemu dengan banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, yaitu Puncak B29 dan Puncak B30. Ada para biker, ada yang ojeker seperti kami, hehe. Sampailah kami di jalan yang mulai bertekstur tanah licin, banyak motor yang terpaksa harus dituntun karena terlalu menanjak atau selip. Saya sendiri memilih untuk turun dari motor dan meneruskan perjalanan dengan berjalan sampai jalan tidak terlalu menanjak lagi. Ya ampun, saking takutnya saya dengan kondisi saat itu, air mata saya makin menjadi, benar-benar cemen. Tapi jangan sampai mas ojeknya tahu deh, selain tengsin juga takut malah mengganggu konsentrasinya waktu nyetir.

Saat berjalan kaki itulah, baru saya sadari pemandangan indah di atas saya. Milky way. Bintang-bintang yang terang dengan jumlah tak terhitung di atas saya membuat ketakutan saya akan jalan yang sulit sedikit teralihkan. Sayang saya tidak sempat memotret saat itu. Saya sempat berhenti di desa terakhir untuk sekedar numpang shalat subuh, rasanya bersyukur bisa sampai disitu dengan selamat. Sementara saya shalat subuh, mas ojek saya memutuskan untuk mengurangi angin pada bannya, mungkin supaya lebih mudah jalannya ya?

 
Setelah shalat subuh, saya meneruskan perjalanan. Tak lama kemudian, sampailah kami di Puncak B29 sekitar pukul 04.30. Masih lumayan gelap sih, tapi awan sudah ngumpul di bawah kaki. Semakin terang, semakin terlihat. Ada beberapa orang yang tidak puas di B29 dan melanjutkan perjalanan hingga B30. Saat melihat pemandangan seperti itu, saya sedikit lupa dengan rasa takut yang sempat saya alami beberapa saat yang lalu. Hanya tinggal rasa syukur dan kagum akan ciptaan Tuhan. Dari Puncak B29 itu saya juga bisa melihat Gunung Bromo dari kejauhan. Subhanallah.
 
Landscape subuh

Masih gelap

Matahari pun mulai menampakkan sinarnya



Tawa saat wefie, seperti nggak pernah bergelimang air mata sebelumnya

Bersama geng biker

Sunrise di B29

Pura Mandara Giri Semeru 


Setelah kembali turun melewati jalan yang berbeda dari jalan berangkat tadi, sampailah kami kembali ke desa. Kami lalu menuju Pura Senduro. Memasuki pura ini, sejenak saya berasa disorientasi. Rasanya bukan seperti di Lumajang lagi, tetapi mirip sekali dengan Bali. Pura ini bernama Pura Mandara Giri Semeru, dengan luas sekitar 2 hektar, yang membuat kami memutuskan untuk berdiam diri saja di pelataran. Alasannya sih karena masih jetlag habis turun gunung, haha...cemen. Belum tau juga sih kalau di dalam ternyata ada air suci, tapi mungkin itu khusus umat Hindu yang ingin beribadah, jadi buat kita-kita yang beragama non Hindu cukup meikmati arsitektur dan pemandangan pura-nya saja ya.







Ranu Klakah dan Ranu Pakis


Kali ini,sekaligus dalam perjalanan pulang, kami mampir sebentar ke Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Sebenarnya sih mau mampir lagi ke Ranu Bedali, tapi karena melihat dua ranu yang (jujur menurut saya) biasa banget, jadi dicukupkan hanya dua ranu saja dan kami pun segera bergegas pulang kembali ke Surabaya.







....WHAT'S NEXT?....