Tulisan saya kali ini
terinspirasi (tsaaaahhh…bahasanya…terinspirasi) dari pendapat temen di salah
satu social media yang menulis tentang citra polisi yang buruk (di mata dia)
karena sering menilang para pengendara. Begini tulisannya :
“Slogan
Polisi : JANGAN MERENDAHKAN MARTABAT KAMI
Apa bisa seperti itu!!!kayaknya engga deh,,malahan sangat RENDAH karena tugas
tilang menilang udah jadi kebudayaan POLISI !!!
Bayangkan hari ini saja ada 4 kali operasi polisi,,katanya sih ada pemeriksaan
tapi ujung2nya cari UANG HARAM !!! Begitu apa bisa di bilang melindungi
masyarakat ,,, PERLU REVISI LAGI BUNG SLOGANNYA !!!!”
Terus di bawahnya saya langsung menuliskan pendapat saya, seperti ini :
“Memangnya semua polisi kerjaanna nilang ya?NGGAK!!
Dan memangnya kalo pengendara kendaraan ga salah,polisi nilang ya?NGGAK!!
Perlu direvisi juga Bung,statusnya!! :)”
Kalo
orang ga ngerti pasti keliatannya saya lagi cari ribut ya?hehe. Kalo saya mo
cari ribut, tentulah saya balas lagi tulisan itu dengan segala macam opini yang
saya punya. Tapi, nggak. Hal itu ga saya lakuin. Sebenarnya niatan saya ga
begitu juga sih. Bukan pula membela atau menjelekkan salah satu pihak. Saya
kurang suka aja dengan pernyataan yang “Men-generalisasi-kan Sesuatu”, ya
seperti pendapat teman saya di atas tadi.
Sadar
ga sih kita, mungkin kadang saya pernah juga melakukannya secara ga sengaja,
kalo kita sering secara ga sadar men-generalisasi-kan sesuatu. Atau dengan kata
lain, menganggap sama atau menyamaratakan sesuatu yang sebenarnya belom tentu
semuanya sama. Misalnya kita nih, para cewek lagi patah hati habis
diselingkuhin sama cowok kita, terus (saya yakin ga cuma 1-2 orang) ada yang
pernah bilang gini, “Ah,semua laki2 tuh sama aja, brengsek semua!!” Nah lho…yang
ngerasa cowok baek2, ga pernah selingkuh (atau malah belom pernah pacaran),
pasti bakal ikut tersinggung ngedengernya. Jangan2 cewek yang bilang gitu juga
lupa kalo bapaknya juga jenis kelaminnya laki2. Maklum guys, namanya juga lagi
patah hati :)
Ada
lagi contoh laen. Misalnya merendahkan atau menjelekkan etnis atau suku tertentu.
Di Indonesia sendiri, ga kurang2 tuh yang namanya beragam macam etnis/suku. Sering
kan secara ga sadar, mungkin kita pernah men-generalisasi-kan beberapa
etnis/suku tertentu. Misalnya :
“Orang (….) kasar2 orangnya” atau “Kalo orang dari (….) sih alus2 ya?” atau “Orang (….) tuh banyak yang pelit”. Hayo….pasti pernah denger penggalan kalimat2 begitu? Padahal mungkin aja yang mereka kenal hanya beberapa orang yang kebetulan punya sifat kayak gitu. Tapi apa bener semua etnis/suku yang sama semuanya punya sifat kayak gitu? Jawabannya jelas : NGGAK SEMUANYA.
“Orang (….) kasar2 orangnya” atau “Kalo orang dari (….) sih alus2 ya?” atau “Orang (….) tuh banyak yang pelit”. Hayo….pasti pernah denger penggalan kalimat2 begitu? Padahal mungkin aja yang mereka kenal hanya beberapa orang yang kebetulan punya sifat kayak gitu. Tapi apa bener semua etnis/suku yang sama semuanya punya sifat kayak gitu? Jawabannya jelas : NGGAK SEMUANYA.
Contoh
lagi, berita buruk tentang citra PNS di Indonesia. Ga nyalahin juga sih kalo
emang citra yang ada di masyarakat itu kurang bagus. Tapi hal2 semacam itu
kadang didukung oleh pemberitaan di media yang ga seimbang/netral. Misalnya
berita tentang PNS yang kerjanya nyante, telat masuk kantor, atau berada di
warung kopi saat upacara berlangsung. Ga memungkiri, memangada kejadian seperti
itu. Dan saya merasa berita tersebut memang patut disiarkan untuk menimbulkan
efek agar introspeksi tetep dilakukan. Sayangnya, berita di media bener2 ga
netral. Apa kabar dengan PNS laen yang sudah melakukan pekerjaannya dengan
baik/disiplin? Pernahkah diberitakan di media saat PNS bekerja lembur hingga
tengah malam (ga sedikit lho temen2 PNS kita yang kerja lembur sampe tengah
malem/pagi)? Pernahkah PNS yang rutin dan disiplin apel pagi/sore hari di-shoot
televisi? Pernahkah PNS yang tepat waktu dan disiplin mengikuti upacara
diliput? Padahal juga masih banyak yang seperti itu. Pernahkah yang seperti itu
ikut diberitakan? Saya rasa jawabannya : NYARIS TIDAK PERNAH.
Pendapat
yang menyamaratakan itu menurut saya kadang kejam, Sodara. Apalagi kalo
generalisasi itu disampaikan lewat media. Televisi atau surat kabar, misalnya.
Masih inget kasus “Bakso yang diduga pake daging tikus” Heboh banget waktu itu
beritanya di media (kayaknya waktu itu saya masih SMP). Saya dulu malah sempet
waswas buat makan bakso. Gimana ga, dulu beritanya pake gambar/video bukti
daging2 tikus yang masih berdarah2 di belakang dapur buat diolah jadi daging
bakso. Saya yakin, ga cuma saya aja yang
waswas, jutaan orang kayak saya di Indonesia pasti banyak yang juga waswas
makan bakso. Sampe mungkin kita waktu itu lupa, kalo masih banyak pedagang
bakso yang membuat bakso dari bahan2 berkualitas dan layak makan.
Salah
satu contoh pemberitaan di media yang cukup adil dan netral menurut saya adalah
“Reportase Investigasi” di TransTV. Disitu meliput beberapa berita tentang
pemalsuan/penyalahgunaan produk2 tertentu. Misalnya penggunaan bahan pewarna
tekstil atau boraks pada makanan maupun pembuatan barang2 aspal (asli tapi
palsu). Beritanya disertai dengan keterangan dari produsen pemalsu (yang sudah
disamarkan sedemikian rupa), berikut proses produksinya. Masyarakat khawatir?
Tentu saja! Tapi berita tersebut tidak berhenti sampai disitu. Berita tersebut
juga menyertakan bahwa masih banyak produsen2 barang yang sama yang masih
memproduksi barang sejeni dengan kualitas yang bagus. Bahkan disitu dijelaskan
bagaimana cara membedakan produk yang baik atau yang jelek (aspal). Jadi disini
masyarakat hanya perlu lebih berhati2 memilah2 barang tanpa harus khawatir yang
berlebihan atau berasumsi bahwa semua produk barang yang ada di pasaran
tersebut jelek semua.
Terus
ngapain juga saya repot2 nulis beginian ya? Disini saya sekedar pengen jadi
reminder, buat saya juga sih (kali2 aja saya lupa sewaktu2), kalo menyamaratakan
sesuatu itu bisa merugikan diri sendiri. Karena secara ga sadar, otak kita
sudah mengkotak-kotakkan dan menyamaratakan hal2 tertentu yang sebenarnya tidak
sama. Contoh2nya ya seperti yang saya jabarkan tadi di atas. Berpendapat memang
boleh2 saja. Tetapi apabila hal tersebut terus menerus dilakukan, apalagi
pemberitaan di media (yang cepet sih misalnya, media cetak dan elektronik), hal
itu bisa menimbulkan semacam sterotype
yang belum tentu benar di masyarakat. Jadi, saya harap, saya, kamu, kita, dan
kami masyarakat pada umumnya sebaiknya lebih berhati2 dalam ‘menempelkan
cap/label’ pada hal2 tertentu. Boleh setuju atau nggak, boleh protes atau
meng-amin-i, atau apa aja reaksi yang saya dapat karena tulisan saya ini, it’s
okay. Just sharing :)