Tergoda oleh foto seorang teman di Puncak B29 di Lumajang, akhirnya saya pun tergerak untuk melangkahkan kaki kesana. Saya dan teman-teman sebanyak 8 orang pergi ke Lumajang pada awal bulan Mei. Dengan pertimbangan pada saat itu, hujan sudah mulai jarang turun, walaupun kenyataannya musim kemarau tahun ini di tempat saya tergolong kemarau basah, jadi terkadang masih turun hujan di beberapa tempat. Kami pergi 2 hari 2 malam, dengan malam pertama kami isi di jalan. Kami berangkat malam hari dari Surabaya dengan mobil sewaan. Tujuan kami Kabupaten Lumajang dengan beberapa destinasi. Kita mulai secara runtut saja ya.
Kompleks Goa Tetes dan Coban Sewu
Kami berangkat dari rumah teman kami di daerah Pasirian – Lumajang
agak siang. Berhubung perjalanan macet dari Surabaya ke Lumajang yang
mengakibatkan planning sampai malam hari jadi
molor sampai subuh. Kami sampai di daerah Pronojiwo Lumajang sekitar 1
jam kemudian. Kami menuruni jalan yang lumayan curam untuk menuju Goa Tetes.
Sudah tengah hari saat kami mencapai air terjun mini di
bawah Goa Tetes. Berhubung destinasi kami masih banyak dan kami sudah sangat
lelah (cemen banget yak), maka rencana untuk meneruskan perjalanan ke Coban
Sewu dengan berat hati kami skip. Kami pun bergegas naik menuju tempat dimana
mobil kami diparkir.
Tanda larangan masuk Tumpak Sewu jjika cuaca buruk |
Tangga air yang cantik |
Lereng di kompleks Goa Tetes |
Saling membantu itu wajib hukumnya |
Goa Tetes (dari bawah) |
Dalam perjalanan pulang, kami mendengar kabar bahwa ada seseorang
yang mengalami kecelakaan di Coban Sewu saat itu. Esok harinya baru kami tahu
bahwa korban ternyata laki-laki, masih mahasiswa, dan tewas terjatuh dari
ketinggian saat mencoba mengambil foto selfie. Merinding rasanya membayangkan
dia terjatuh dari ketinggian yang sebegitu rupa.
Gladak Perak
Sepulang dari Goa Tetes, kami kembali menuju Pasirian. Saat
perjalanan pulang tersebut, kami mampir di Gladak Perak. Ini adalah jembatan
yang dibangun di atas Sungai Besuk Sat yang sudah ada sejak jaman Belanda.
Sungai ini merupakan sungai aliran lahar dingin muntahan dari Gunung Semeru.
Kami pun sejenak beristirahat disitu sambil menikmati tahu goreng yang diberi
bumbu petis. Katanya sih memang juaranya disitu. Setelah cukup beristirahat,
kami kembali pulang ke rumah teman di Pasirian.
(Rencananya) Sunset di Puncak B29
Sore hari setelah cukup beristirahat di rumah, kami
berencana untuk langsung menuju kawasan Argosari Lumajang, tak lain tak bukan
untuk mengejar sunset di Puncak B29. Namun apalah daya, karena kurangnya
persiapan yang matang dan waktu yang memang sudah molor dari awal, sampai di
kaki bukit, kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Pertimbangannya saat itu
sudah memasuki waktu Maghrib dan pastinya begitu sampai puncak pastilah sunset
itu sudah tidak terkejar. Jadilah sore itu kami bak traveller galau yang
mondar-mandir Pasirian – Argosari tanpa hasil, hehehe
Sunrise di Puncak B29
Untuk kali ini, kami tidak mau gagal lagi karena sebenarnya
inilah tujuan utama kami ke Lumajang, desa di atas awan di B29. Kami berangkat
sekitar pukul 2 pagi dari Pasirian Lumajang. Kami sampai di Argosari, tempat
kami memarkir mobil kurang dari pukul 3 pagi. Kami, yang notabene traveller
cemen memilih untuk naik ojek sampai ke puncak, berhubung kalau ditempuh dengan
jalan kaki bisa sampai 2 jam lebih yang artinya lewat pulalah sunrise itu.
Setelah tawar-menawar dengan mas-mas ojek, disepakati harga 75rb untuk desa ke
puncak B29 pulang-pergi. Kelak saya akan tahu, harga segitu terhitung murah
untuk perjalanan yang nanti akan saya lewati.
Kami pun mulai naek ke atas boncengan satu-persatu. Ada sih
yang sampe bonceng 3 (cowok-cowoknya nih, nekat bener). Belum ketemu jalan yang
berbatu-batu, baru sekesar jalan yang berkelok-kelok, saya diam-diam mennagis
di boncengan belakang. Mas-mas ojeknya ngebut banget yak. Entah karena dia
sudah terbiasa atau memang begitulah seharusnya menaiki puncak dengan kecepatan
tinggi, yang jelas saat itu saya merasa takut sekali.
Belum selesai sampai disitu. Akhirnya kami bertemu dengan
banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, yaitu Puncak B29 dan Puncak B30.
Ada para biker, ada yang ojeker seperti kami, hehe. Sampailah kami di jalan
yang mulai bertekstur tanah licin, banyak motor yang terpaksa harus dituntun
karena terlalu menanjak atau selip. Saya sendiri memilih untuk turun dari motor
dan meneruskan perjalanan dengan berjalan sampai jalan tidak terlalu menanjak
lagi. Ya ampun, saking takutnya saya dengan kondisi saat itu, air mata saya
makin menjadi, benar-benar cemen. Tapi jangan sampai mas ojeknya tahu deh,
selain tengsin juga takut malah mengganggu konsentrasinya waktu nyetir.
Saat berjalan kaki itulah, baru saya sadari pemandangan
indah di atas saya. Milky way. Bintang-bintang yang terang dengan jumlah tak
terhitung di atas saya membuat ketakutan saya akan jalan yang sulit sedikit
teralihkan. Sayang saya tidak sempat memotret saat itu. Saya sempat berhenti di
desa terakhir untuk sekedar numpang shalat subuh, rasanya bersyukur bisa sampai
disitu dengan selamat. Sementara saya shalat subuh, mas ojek saya memutuskan
untuk mengurangi angin pada bannya, mungkin supaya lebih mudah jalannya ya?
Setelah shalat subuh, saya meneruskan perjalanan. Tak lama
kemudian, sampailah kami di Puncak B29 sekitar pukul 04.30. Masih lumayan gelap
sih, tapi awan sudah ngumpul di bawah kaki. Semakin terang, semakin terlihat.
Ada beberapa orang yang tidak puas di B29 dan melanjutkan perjalanan hingga
B30. Saat melihat pemandangan seperti itu, saya sedikit lupa dengan rasa takut
yang sempat saya alami beberapa saat yang lalu. Hanya tinggal rasa syukur dan
kagum akan ciptaan Tuhan. Dari Puncak B29 itu saya juga bisa melihat Gunung
Bromo dari kejauhan. Subhanallah.
Landscape subuh |
Masih gelap |
Matahari pun mulai menampakkan sinarnya |
Tawa saat wefie, seperti nggak pernah bergelimang air mata sebelumnya |
Bersama geng biker |
Sunrise di B29 |
Pura Mandara Giri Semeru
Setelah kembali turun melewati jalan yang berbeda dari jalan
berangkat tadi, sampailah kami kembali ke desa. Kami lalu menuju Pura Senduro.
Memasuki pura ini, sejenak saya berasa disorientasi. Rasanya bukan seperti di
Lumajang lagi, tetapi mirip sekali dengan Bali. Pura ini bernama Pura Mandara
Giri Semeru, dengan luas sekitar 2 hektar, yang membuat kami memutuskan untuk berdiam
diri saja di pelataran. Alasannya sih karena masih jetlag habis turun gunung,
haha...cemen. Belum tau juga sih kalau di dalam ternyata ada air suci, tapi
mungkin itu khusus umat Hindu yang ingin beribadah, jadi buat kita-kita yang
beragama non Hindu cukup meikmati arsitektur dan pemandangan pura-nya saja ya.
Kali ini,sekaligus dalam perjalanan pulang, kami mampir sebentar ke Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Sebenarnya sih mau mampir lagi ke Ranu Bedali, tapi karena melihat dua ranu yang (jujur menurut saya) biasa banget, jadi dicukupkan hanya dua ranu saja dan kami pun segera bergegas pulang kembali ke Surabaya.
Ranu Klakah dan Ranu Pakis
Kali ini,sekaligus dalam perjalanan pulang, kami mampir sebentar ke Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Sebenarnya sih mau mampir lagi ke Ranu Bedali, tapi karena melihat dua ranu yang (jujur menurut saya) biasa banget, jadi dicukupkan hanya dua ranu saja dan kami pun segera bergegas pulang kembali ke Surabaya.
....WHAT'S NEXT?....