Pulau Biawak, yang sebelumnya
bernama Pulau Rakit, terletak sekitar 40 km di laut sebelah utara Kabupaten
Indramayu. Saya tertarik mengunjungi pulau ini saat secara tidak sengaja
menemukan referensinya pada saat saya browsing. Yang saya ketahui saat itu adalah
pulau ini tidak seperti pulau-pulau destinasi wisata yang sudah terkenal
lainnya, misalnya Kepulauan Karimun Jawa di Jawa Tengah dan Kepulauan Seribu di
DKI Jakarta. Karena itulah
saya maklum jika fasilitas dan infrastruktur disana, seperti perahu, jalanan,
penginapan, dan sebagainya tentulah tidak sebaik pulau-pulau wisata yang lain.
Tapi itu tidak menyurutkan niatan saya dan teman-teman untuk mengunjunginya.
Disini saya akan menceritakan pengalaman saya dan teman-teman saat mengunjungi
Pulau Biawak sekaligus ketidaknyamanan kami disana karena (mungkin) salah
memilih agen penyelenggara, bukan karena Pulau Biawak-nya.
Hari 1
Sama saat mengunjungi Kepulauan Karimun Jawa
dan Kepulauan Seribu, saya menggunakan jasa agen agar tidak pusing lagi
memikirkan sewa perahu, penginapan, dan sewa alat-alat snorkeling. Saat itu
saya menemukan agen dengan paket harga untuk 2H1M sebesar Rp. 428.000,- (sebut
saja Mas F sebagai agen penyelenggara untuk berkoordinasi). Untuk mengunjungi
Pulau Biawak ini, perjalanan umumnya akan dimulai pada pukul 2 atau 3 dini
hari. Tapi karena tim saya dari Surabaya baru akan tiba di Cirebon sekitar
pukul 5 pagi, maka jadwal pun terpaksa diundur, penjemputan akan dilakukan jam
6 pagi di Cirebon. Kenapa di Cirebon dan bukan di Indramayu? Karena ada
beberapa teman saya juga yang menunggu kami disana. Tapi rencana itu buyar
berantakan, karena kenyataannya kami baru dijemput di rumah teman saya di
Cirebon sekitar pukul 11.00 siang. Dan sampai disitu, kami dibawa bukan ke
Pelabuhan Karangsong seperti perjanjian awal, tapi malah di Daerah Brondong.
Dan tempat perahu nelayan itu bersandar benar-benar tidak tampak seperti
pelabuhan, tapi berupa muara. Sampai disana ternyata kami diberangkatkan
bersama tim dari Jakarta yang keberangkatannya juga ditunda karena ombak besar
di laut. Kami berangkat dengan 2 perahu nelayan, dan hebatnya agen penyelenggara
yang menjemput saya (sebut saja Mas A) tidak ikut berangkat bersama kami. Dia
bilang nanti di Pulau Biawak sudah ada timnya yang menunggu.
Muara Brondong |
Muara Brondong |
Kami mulai berangkat ke Pulau
Biawak ditemani bapak nelayan yang mengemudikan perahu. Perahu yang saya maksud
disini adalah perahu tradisional yang biasanya digunakan nelayan untuk mencari
ikan dengan satu motor di samping perahu. Dan karena saat itu ombak memang
sudah mulai besar, tidak sedikit teman saya di perahu mulai mengalami mabuk
laut. Saya sendiri tidak henti-hentinya berdzikir dan berdoa agar segera tiba
di darat dengan selamat. Kami mengarungi lautan selama sekitar 4 jam lebih.
Saat kami tiba di Pulau Biawak, langit sudah mulai gelap, sehingga sudah tidak memungkinkan
buat kami untuk melakukan apa-apa selain di penginapan atau sekedar duduk-duduk
di dermaga atau pinggir pantai. Lagipula beberapa diantara kami tampaknya sudah
sangat kelelahan akibat perjalanan yang lumayan berat sebelumnya.
Disitu ada ketidaknyamanan lagi
yang kami rasakan, yaitu pihak penyelenggara tidak cepat tanggap memberikan
kamar kepada kami. Disana hanya ada beberapa orang penunggu penginapan, yaitu rumah-rumah
dengan kamar yang ternyata sudah terisi kelompok yang datang di hari sebelumnya
atau datang di pagi hari itu. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya kami
mendapat satu rumah (berisi dua kamar) yang akhirnya kami pakai seluruhnya (termasuk
ruang tamu kami beri kasur tambahan) untuk dua kelompok (sejumlah 14 orang).
Malam itu tidak ada kegiatan berarti yang bisa dilakukan. Saya sendiri lebih
memilih untuk duduk-duduk di pinggir pantai sebelum akhirnya beristirahat di
penginapan.
Hari 2
Pagi itu saya kami bangun pagi untuk memulai mengelilingi Pulau Biawak
sendiri, sekaligus menaiki Mercusuar ZM Willem III. Entah kemana pihak penyelenggara
saat itu, mungkin masih mengurus kelompok lain yang akan datang hari itu. Agar
tidak membuang-buang waktu, akhirnya kami eksplore Pulau Biawak secara mandiri.
Kami berkeliling di sekitar
pantai dan masuk hutan saat itu, terutama untuk melihat penangkaran Biawak.
Sayangnya, karena tidak ditemani oleh pemandu, kami tidak berhasil
menemukannya, selain keluar masuk hutan yang penuh nyamuk. Karena itu kami lalu
menuju pantai dan dermaga untuk bermain-main, memancing, atau pun sekedar
menikmati pemandangan pagi.
Satu-satunya biawak yang saya temui saat itu |
Mercusuar ZM Willem III
Dibangun pada tahun1872 setinggi
sekitar 65 meter dengan 17 tingkat. Bentuknya sudah terlihat cukup tua. Kami naek
ke puncak secara bergantian, karena terus terang agak seram juga membayangkan
berdesak-desakan di atas menara mercusuar, bahkan rasanya sudah cukup
mengerikan saat naik turun tangga, apalagi jika harus berpapasan dengan orang,
harus ekstra hati-hati.
Tapi pemandangan yang didapat
saat kita berhasil naik ke puncak mercusuar luar biasa sekali. Pandangan
langsung tertuju pada hutan di bawah mercusuar yang langsung berbatasan dengan
laut lepas. Sayangnya saat itu saya menaiki menara saat pagi-pagi sekali,
sehingga warna laut masih belum terlalu biru. Saya sarankan untuk para
pengunjung agar menaiki mercusuar di siang hari agar warna birunya laut lebih
terlihat jelas. Pada saat itulah, akhirnya pemandu penyelenggara pun datang
bersama rombongan baru yang lain. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju
Pulau Gosong untuk snorkeling.
Pulau Gosong
Walaupun bernama sama, tapi Pulau
Gosong disini sangat berbeda dari Pulau Gosong yang terletak di Kepulauan
Karimun Jawa. Untuk menuju Pulau Gosong, kami harus menempuh perjalanan dari
Pulau Biawak sekitar 1 jam dengan perahu nelayan. Kata bapak nelayan, dulunya
Pulau Gosong itu luas, tapi sekarang hanya tinggal beberapa meter persegi saja,
rusak karena pengerukan pembangunan Pertamina Balongan.
Ketidaknyamanan kembali kami
rasakan karena pihak penyelenggara tidak membawa cukup perlengkapan snorkeling
sehingga kami terpaksa memakainya bergantian. Tapi kenyataannya hanya beberapa
orang yang mendapat giliran, karena kelompok lain cukup lama memakai alat dan
baru naik kembali ke perahu saat sudah waktunya untuk bergerak pindah pulau.
Saya sendiri, hanya sempat snorkeling sekitar setengah jam, sisanya hanya saya
gunakan untuk bermain-main di laut dan beberapa teman saya malah sibuk memancing.
Setelah itu kami pindah spot
untuk snorkeling yaitu di bagian belakang Pulau Biawak. Disini kedalaman
sekitar 3-5 meter, jauh lebih dalam daripada spot di Pulau Gosong tadi. Setelah
berpuas-puas diri snorkeling disana, barulah kami kembali ke Pulau Biawak untuk
segera bersiap-siap pulang ke Indramayu. Tentunya kami kembali bersama nelayan
saja, bukan pihak penyelenggara.
Saat perjalanan pulang ternyata
tidak lebih baik daripada saat berangkat. Di tengah-tengah laut yang sudah
gelap, kami malah terjebak di bawah gerhana bulan. Otomatis ombak sangat
tinggi. Saat itu diantara kami tidak ada yang mabuk laut, mungkin karena otak
dan pikiran kami fokus pada suasana yang mencekam pada saat itu.
Takut. Itu yang saya dan mungkin
sebagian besar teman-teman saya rasakan saat itu. Bagaimana kalau kami tidak
selamat, tergulung ombak besar, apakah ada yang akan menolong kami, sementara
kami ada di tengah-tengah laut yang gelap. Saat itu saya melihat jaket
pelampung. Ternyata jumlahnya kurang dari jumlah total penumpang. Disitu saya
kembali kecewa pada pihak penyelenggara. Bagaimana mungkin mereka kurang
perhatian pada keselamatan kami?
Catatan untuk Tim Penyelenggara
Sejujurnya Pulau Biawak merupakan tempat yang cukup indah, jika saja saya tidak merasa terganggu dengan beberapa sikap dari pihak penyelenggara. Tulisan ini saya buat untuk merangkum perjalanan kami sekaligus kekecewaan kami terhadap pihak penyelenggara.
1. Pihak penyelenggara (Mas F) sulit untuk diajak
berkoordinasi. Sering pesan saya hanya bertanda centang 1 atau telepon tidak
diangkat. Mungkin saat itu sedang jam kerja karena yang saya tahu,
penyelenggara acara Pulau Biawak ini pekerjaan sampingan untuk Mas F. Saya
sarankan jika seperti itu, ada baiknya ada pihak lain yang membantu (contact
person ada beberapa) sehingga memudahkan calon peserta dan pihak penyelenggara
untuk saling berkoordinasi atau berdiskusi mengenai hal-hal yang terkait.
2. Pada saat terjadi penundaan keberangkatan, saya
dan teman-teman sempat terkatung-katung di stasiun karena Mas A (yang bertugas
menjemput kami) tidak bisa dihubungi. Sehingga saya terpaksa menghubungi Mas F
kembali. Ada baiknya apapun yang terjadi pada pihak penyelenggara, baik
penundaan atau keberangkatan untuk segera memberi kabar pada peserta agar tidak
sama seperti kami yang nasibnya sempat tidak jelas.
3. Saat kami pergi ke Pulau Biawak adalah saat-saat
high season atau libur panjang. Karena itu saya maklum jika pengunjung bisa
terdiri dalam beberapa kelompok sekaligus. Tapi itu bukan berarti membolehkan
kami pergi berangkat sendiri tanpa ditemani dengan pihak penyelenggara sama
sekali.
Saat itu kami hanya ditemani nelayan pengemudi perahu.
Pihak penyelenggara ada yang sudah berada di pulau. Tapi kenyataannya kami
tetap kebingungan karena begitu sampai, rumah penginapan yang tersedia sudah
terisi semua.
Ternyata sesampainya kami disana, bukan hanya kami
yang mengalami pengalaman kurang enak. Ada satu kelompok yang bercerita pada
saya, bahwa dini hari dia ikut perahu nelayan sendiri, karena tidak ada pihak
penyelenggara sama sekali di pelabuhan. Bahkan ada kelompok lain dengan paket
3H2M yang artinya sudah semalam disitu sebelum kami, tapi tidak mendapatkan
fasilitas apapun selain penginapan dan makan (tanpa acara eksplor pulau atau
snorkeling). Sungguh benar-benar terlantar.
4. Alat-alat untuk snorkeling sebaiknya disesuaikan
dengan jumlah peserta. Kalaupun harus bergantian, sebaiknya benar-benar
bergantian di satu tempat yang sama, bukan seperti kami yang bergantian di
tempat yang berbeda. Otomatis, kami kehilangan salah satu spot.
Begitu juga dengan fasilitas foto underwater yang
dijanjikan. Itupun tidak kami dapatkan dengan dalih batere habis dipakai oleh
kelompok lain. Foto-foto yang kami punya itu dari kamera kami sendiri.
Benar-benar seenaknya.
5. Pada saat kami selesai snorkeling, kamar mandi
yang kami tinggal benar-benar ditinggal tanpa air. Penyelenggara baru
tergopoh-gopoh menyalakan pompa air saat kami sudah datang di lokasi.
Benar-benar tidak ada persiapan.
6. Fasilitas sebaiknya diperbaiki. Saat kami
berlayar, misalnya. Saya tidak melihat jaket pelampung lengkap sesuai dengan
jumlah peserta. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tengah
perjalanan. Saya tahu sudah ada asuransi yang menanggung kami. Tapi alangkah
bodohnya jika hal yang buruk terjadi “hanya” karena keteledoran pihak
penyelenggara.
7. Sama seperti saat kami kembali ke Indramayu.
Saat itu terjadi gerhana bulan. Saya pikir, gerhana bulan adalah sesuatu yang
bisa diprediksi dan tentunya hal itu sudah termuat dalam berita, baik media
cetak ataupun online. Yang saya sesalkan disini, pihak penyelenggara yang tidak
bisa mengantisipasi dan tidak bisa mmeperkirakan waktu yang aman untuk
berlayar. Sehingga kami pulang dan berada di tengah-tengah laut saat terjadi
gerhana bulan dan ombak pastinya sedang ganas-ganasnya. Kembeli tanpa alat
penyelamatan yang lengkap dan tanpa didampingi pihak penyelenggara. Benar-benar
mengecewakan.
Ada satu kelompok yang sebenarnya masih tersisa satu hari
lagi disana tapi ikut pulang bersama kami karena kecewa dengan pihak
penyelenggara. Beberapa dari kami sempat protes, tapi hanya dijawab dengan kata
“maaf” dan saat kami komplain, dalih yang sering diucapkan adalah, “ Maaf, saya
harus handle kelompok yang lain dulu karena ada banyak kelompok”. Nah...sudah
tahu ada banyak kelompok, kenapa tidak menambah personel pemandu. Sungguh
benar-benar mengecewakan.
Saya rasa sebaiknya pihak penyelenggara berbenah untuk
memperbaiki diri. Sayang sekali pengalaman kami di Pulau Biawak yang indah harus
tercoreng karena sikap pihak penyelenggara yang terkesan tanpa persiapan dan
seenaknya sendiri.
Kami datang untuk menikmati alam Pulau Biawak, bukan untuk
bunuh diri.
...What's next?...